Senin, 18 Oktober 2010

kartun sebagai media yang mengasikkan

Menyimak pidato kenegaraan Presiden SBY di MPR yang baru lalu, di hadapan anggota DPD, pada tahun 2010 internet dan tayangan televisi akan bisa dinikmati oleh masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia, saya jadi terpana. Ada rasa bangga, namun kegundahan akan dampak negatif dari media tersebut jauh lebih besar. Internet, mungkin masih terbatas pada mereka yang faham teknologi ini. Tetapi televisi, tidak dibutuhkan pengetahuan tambahan untuk menyimaknya, cukup punya mata yang berfungsi plus pendengaran. Masalah piranti (pesawat televisinya) mudah saja, andai belum atau tidak punya sendiri, bisa numpang di rumah tetangga karena komunitas desa sangat kekeluargaan dan masih solid dengan system kekerabatannya.

Bila anda berhasrat menjadi selebriti/artis sinetron, dewasa ini kira-kira syaratnya lebih mudah, namun perlu kemurahan dari Allah SWT karena menyangkut performance bawaan “janin”. Syarat pertama, anda yang wanita, harus cantik, berkulit mulus, berbody seksi, mau berdandan sesuai dengan tuntutan skenario. Untuk anda yang pria, harus ganteng, gagah, berbody macho dan bersedia berlagak sesuai tuntutan skenario. Kedua, anda bisa bicara dengan nada lantang, sanggup membentak-bentak, bisa bereksperisi bengis-jahat-licik, pria jadi wanita, wanita berlagak pria, (ekspresi sedih/tangis-menangis dan mata merah/sembab, bisa direkayasa dengan obat tetes mata, atau gas dari aroma kulit bawang merah!). Ketiga, jangan sekali-kali anda menolak keinginan sutradara dan produser sekalipun alur cerita atau penokohan anda secara psikologis tidak berwatak atau bertentangan dengan norma-norma. Keempat, anda bersedia mengikuti irama “kejar-tayang” pihak produser. Kelima, campakkan idealisme anda, gantikan dengan selera iklan dan warna-warni pemirsa yang menggemari ceritanya. Syarat keenam, sanggup menerima kritik, tudingan negatif dari para intelektual, psikolog dan pendidik yang peduli pada generasi muda. Ketujuh, -untuk pendatang baru dan yang belum beken- tanda-tangani saja kontrak dengan persyaratan yang diajukan produser walaupun honornya rendah.

Menjelang bulan Suci Ramadhan, selama satu bulan penuh ada kemungkinan tayangan televisi dipenuhi dengan thema-thema religi, termasuk iklan yang mengundang sensasi akan dikurangi. Padahal dalam setahun selama sebelas bulan, pemirsa banyak disuguhi tampilan yang serba glamour serta menjurus pada hal-hal berdampak negatif bagi perkembangan psikologi anak-anak dan ABG. Dan masyarakat pedesaan pada umumnya menikmati siaran televisi bagaikan sebuah media pembelajaran. Sementara Komisi Penyiaran Indonesia dan institusi pengawasan siaran televisi dan film independen seakan tidak mampu berfungsi sebagai pengendali. Walaupun label “siaran dewasa”, “bimbingan orang tua” atau apa saja istilahnya, tercantum dalam acara-acara tertentu.

Kampanye nasional untuk menyelamatkan anak-anak dari cengkeraman televisi adalah “Hari Tanpa Televisi” diadakan sejak 2006, tahun ini dilaksanakan pada hari Minggu, 26 Juli 2009 yang lalu. Gerakan ini seolah mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi sajian stasiun televisi. Seandainya, komitmen ini diikuti fungsi-fungsi pengawasan dari institusi bentukan pemerintah, yang tegas, tidak pandang bulu, tak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada stasiun yang ternyata menyajikan tayangan tidak berkualitas, niscaya kampanye bisa efektif serta menuai hasil maksimal. Lihatlah, seberapa besar prosentase siaran dan acara dari berbagai stasiun televisi yang berbobot membangun SDM masa depan? Jangan pertanyakan tentang komitmen orang tua menyiasati kebutuhan primer anak akan televisi, karena masyarakat pedesaan umumnya terlalu awam, kecuali bagi pedesaan di pulau Jawa dan Bali, mungkin sedikit beda.

Kebutuhan terhadap internet dan televisi konsekuensi logis dari perkembangan informasi global. Bahkan, suatu saat nanti masyarakat sangat bergantung pada teknologi ini sepadan dengan ketergantungan terhadap listrik. Oleh karena itu, sangat logis jika dalam dekade terakhir perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional juga ikut meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas teknologinya. Bahkan, di era otonomi daerah, juga semakin marak bermunculan televisi lokal dengan tayangan khas bernuansa kedaerahan.

Kuantitas sajian membingungkan pemirsa saking beraneka dan banyaknya acara, teknologi pembuatannya kian canggih sehingga mampu menghipnotis pemirsa awam, utamanya masyarakat pedesaan. Kita semua bangga dengan itu, walaupun sebagian program berupa adopsi dari televisi luar negeri. Kendati demikian, para intelektual, psikolog, pendidik dan pemerhati generasi penerus bangsa ini sangat memprihatinkan kualitas tayangannya dan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan jiwa dan moral anak-anak dan remaja. Pesan-pesan edukatif yang disajikan terbungkus sangat tebal sulit dicernakan, sebaliknya perilaku bengis dan keji justru tertampil seakan suri tauladan yang faktual serta layak diaktulisasikan dalam keseharian. Utamanya sajian televisi swasta nasional yang lebih banyak memburu kualitas tayangan program yang kurang mendidik dan cenderung tidak rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar