Jumat, 22 Oktober 2010

pendidikan guru kelas rangkap

Orientasi Singkat mengenai Pembelajaran Rangkap Kelas di SD (Multigrade Teaching)

Dari berbagai literatur dapatlah diketahui dan juga dikatakan bahwa negara-negara yang menerapkan model “Pembelajaran Rangkap Kelas (PRK)” tidak hanya terbatas di kalangan negara-negara yang sedang berkembang saja. Ternyata negara-negara maju juga ikut menerapkan model PRK karena memang menjadi kebutuhan. Beberapa di antara negara maju yang menerapkan model PRK adalah Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Kanada. Penerapan model PRK pada umumnya lebih banyak dilakukan pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Jika demikian ini keadaannya, maka itu berarti bahwa banyak satuan pendidikan SD yang dikelola oleh jumlah guru yang sangat terbatas atau bahkan dikelola oleh hanya seorang guru (one-teacher school).
Ada beberapa model atau pola pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam PRK tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing daerah. Setidak-tidaknya, ada 5 model/pola PRK menurut Anwas M. Oos, yaitu: (1) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (2) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (3) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, (4) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda pada dua ruangan kelas, dan (5) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.
Di dalam proses belajar-mengajar model PRK yang dilaksanakan, para peserta didik dikondisikan sedemikian rupa agar mereka senantiasa aktif belajar dan khususnya belajar mandiri (independent learning), baik secara perseorangan maupun kelompok, tanpa harus sepenuhnya tergantung pada guru.

Salah satu pendekatan dalam PRK dan yang sekaligus juga merupakan karakteristik utama adalah adanya pemisahan atau segregasi. Guru membuat pemisahan yang jelas antara setiap tingkatan, setiap mata pelajaran, setiap kelompok anak yang berada di dalam kelas. Anak-anak yang termasuk ke dalam satu tingkatan diorganisasikan untuk berada dalam satu kelompok tersendiri. Sebagai contoh: anak-anak dari tingkatan/kelas 1 dan 2 duduk bersama membentuk satu kelompok. Demikian juga dengan anak-anak kelas 3 dan 4. Kemudian, guru akan mencoba menjelaskan satu mata pelajaran kepada masing-masing kelompok secara bergantian. Artinya, akan ada pelajaran matematika untuk kelas 4 dan pelajaran matematika untuk kelas 5 dan demikian selanjutnya.

Konsep PRK mengandung beberapa kriteria, yaitu: (a) adanya penggabungan siswa yang berasal dari 2 atau lebih tingkatan, (b) seorang guru ditugaskan untuk membelajarkan para siswa gabungan yang terdiri dari beberapa tingkatan, (c) seorang guru melaksanakan tugas-tugas mengajarnya kepada para siswa gabungan secara serempak, dan (d) siswa secara individual maupun di dalam kelompok (tingkatan) tetap dikondisikan oleh guru untuk tetap aktif belajar sekalipun guru sedang memberikan bimbingan kepada siswa tingkatan tertentu.
Prosentase jumlah SD yang menerapkan model PRK (terutama “Sekolah Satu Guru”) di beberapa negara adalah: (a) Peru (40%), (b) Northern Territory of Australia (40%), (c) Swedia (35%), (d) Zambia (26%), dan (e) Perancis (22%) (Little, 1995).

Pada sekolah yang menerapkan PRK, para guru mengajar 2 atau lebih tingkatan pada satu kelas. Pemerintah di beberapa negara mempromosikan sekolah-sekolah PRK untuk para peserta didik yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan terpencil dengan jumlah penduduknya yang jarang dan kurang beruntung (disadvantaged). Dengan menghadirkan/mendatangkan sekolah ke lingkungan anak-anak, maka Pemerintah mencoba mencari terobosan untuk (1) mengurangi kesenjangan pendidikan antara anak-anak di daerah perkotaan dan pedesaan serta (2) memberikan layanan pendidikan yang dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak usia sekolah dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Dasar Universal. Para guru yang akan ditempatkan pada sekolah-sekolah ragam kelas dibekali dengan pelatihan tentang cara-cara mengajarkan materi pelajaran yang berbeda kepada peserta didik yang berbeda namun berada pada satu kelas.

Model Sekolah Dasar yang menerapkan PRK di Jepang hanya diperkenankan untuk menggabungkan 2 tingkatan ke dalam satu kelas. Penggabungan 2 tingkatan ini dinilai masih relatif lebih mudah untuk dikelola oleh seorang guru. Kondisinya akan jauh lebih sulit lagi apabila Sekolah Dasar hanya dikelola oleh satu orang guru atau disebut dengan istilah “Sekolah Satu Guru” (one-teacher schools). Artinya, guru yang ada melaksanakan berbagai tugas, tidak hanya yang bersifat akademik atau pembelajaran tetapi juga yang sifatnya administratif.

Sehubungan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang hanya memperkenankan penggabungan 2 tingkatan ke dalam satu kelas, maka untuk kepentingan kegiatan pembelajaran, dikemukakan oleh Takako Suzuki bahwa pemerintah mengembangkan kurikulum khusus yang siklusnya 2 tahunan yang didasarkan pada kebijakan kurikulum nasional yang bersifat umum. Pengembangan kurikulum yang akan digunakan oleh guru yang mengajar di kelas-kelas ragam tingkatan ini disesuaikan juga dengan kondisi lokal.

Sekalipun telah dibekali dengan kurikulum khusus yang dikembangkan untuk kepentingan pembelajaran siswa pada kelas gabungan, namun dikemukakan oleh Takaku Suzuki bahwa para guru masih belum mengubah strategi kegiatan belajar-mengajarnya. Mereka masih menerapkan strategi belajar-mengajar untuk kelas yang hanya satu tingkat (Suzuki, 2004).
Sedangkan di Vietnam, ukuran kelas pada SD yang menerapkan PRK hanya dapat menampung sekitar 20 anak. Seorang guru memberikan pelajaran yang berbeda pada waktu yang sama kepada peserta didik yang terdiri atas beberapa tingkatan yang berbeda. Sebagai contoh, ada satu kelas yang ditempati oleh 13 anak (3 wanita dan 10 pria) yang berasal dari 2 tingkatan/kelas dan di antara siswa ini hanya seorang anak yang berbeda tingkat/kelasnya. Pekerjaan ekstra yang diemban oleh para guru yang mengajar di sekolah ragam kelas/tingkatan mendapat tambahan gaji 50% jika hanya menangani 2 tingkatan peserta didik dan tambahan 75% bagi para guru yang bertanggungjawab atas 3 atau lebih tingkatan peserta didik (Pridmore, 2004).

Banyak model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di Vietnam. Seorang guru dapat saja bertanggungjawab untuk membina 2 sampai 5 kelas yang berbeda. Sejauh ini, sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan menyebar luas di daerah-daerah etnis minoritas. Tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan dasar kepada anak-anak yang kurang beruntung dengan cara menghadirkan sekolah mendekat kepada masyarakat di tempat anak-anak tinggal. Ada sekitar 2.162 SD yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, atau sekitar 1,8% dari jumlah keseluruhan SD dengan jumlah peserta didik sekitar 143.693 anak atau sekitar 38% dari jumlah populasi usia sekolah (Vu, 2004).
Menurut Patricia Ames, Peru memiliki sekitar 21.500 SD yang menerapkan model PRK di mana sekitar 96% di antaranya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Jumlah guru yang ditugaskan pada sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan ini sekitar 41.000 orang atau mewakili sekitar 69% dari total jumlah guru. Sebagian besar sekolah (89%) yang berada di pinggiran kota di Peru menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Khusus mengenai “Sekolah Satu Guru”, menurut Tovar yang dikutip Patricia Ames mengemukakan bahwa di Peru terdapat sekitar 39% dan tersebar di daerah-daerah pedesaan (Ames, 1989).

Karakteristik yang sangat penting untuk dikemukakan yang mempengaruhi situasi pendidikan di Peru menurut Patrcia Ames adalah (a) persebaran dan keterpencilan populasi (dispersion and isolation) di pedesaan; (b) kemiskinan desa (60% penduduk yang tinggal di pedesaan adalah miskin dan 37% hidup pada suatu situasi yang sangat miskin; (c) ekonomi keluarga yang menuntut anak-anak anggota keluarga untuk bekerja; (d) perbedaan ragam budaya dan bahasa yang digunakan; dan (e) anak-anak di daerah pedesaan terlambat mengikuti pendidikan sekolah, tingkat mengulang kelas (repetition rate) yang tinggi dan seringnya terjadi gangguan tidak bersekolah. Kesemuanya ini semakin mewarnai variasi kelas-kelas ragam tingkatan (Ames, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bray mengenai Sekolah Dasar Kecil (Small Primary Schools) di Kalimantan Tengah dikemukakan bahwa terdapat 460 SD yang dikelola oleh 1 sampai dengan 3 orang guru (Bray, 1987). Bahan-bahan belajar yang digunakan oleh siswa dirancang secara khusus sehingga dapat dipelajari secara mandiri oleh siswa. Salah satu peluang yang terbuka dari ketersediaan bahan-bahan belajar yang bersifat mandiri adalah memungkinkan para sukarelawan orang dewasa untuk dapat membantu para siswa melakukan kegiatan pembelajarannya. Konsep Sekolah Dasar Kecil di berbagai literatur diidentikkan dengan sekolah dasar yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/ tingkatan.

Sedangkan berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990 terdapat sekitar 12.000 SD yang dikelola oleh guru yang harus mengajar lebih dari satu kelas (BALITBANG DEPDIKNAS, 1990). Beberapa faktor yang menyebabkan Sekolah Dasar menerapkan Pembelajaran ragam kelas/tingkatan antara lain adalah: (1) kekurangan guru, (2) keterbatasan ruang kelas yang tersedia di SD, dan (3) kondisi geografis yang sulit transportasi (PUSTEKKOM, 2002).

Untuk membantu para guru yang mengajar di SD dengan model “pembelajaran ragam kelas/tingkatan”, maka Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) telah melakukan perintisan pemanfaatan program audio interaktif di 10 SD yang tersebar di 10 propinsi pada tahun 2001 (PUSTEKKOM, 2002). Program audio interaktif ini mencakup mata pelajaran: (1) bahasa Indonesia, (2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), (3) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (4) Matematika, dan (5) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Program ini dapat dimanfaatkan siswa tanpa harus sepenuhnya dibimbing oleh guru. Sekalipun demikian, guru dituntut untuk memberikan penjelasan dan petunjuk kepada para siswa sebelum program dimanfaatkan.
Selanjutnya, Paula Rogers mengemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh siswa yang belajar pada sekolah yang menerapkan PRK, yaitu: (a) bantuan dari sesama para siswa tidak saja hanya menguntungkan para siswa dari kelas yang lebih rendah tetapi juga para siswa dari di kelas yang lebih tinggi (kerjasama yang saling menguntungkan), (b) para siswa terkondisi untuk belajar secara independen karena para gurunya mendidik mereka untuk mengembangkan sikap independen dan efisien dalam belajar, (c) berkembangnya perasaan bangga di dalam diri para siswa karena mereka merasa lebih puas sekalipun sedikit mengalami friksi dalam kegiatan belajarnya dibandingkan para siswa sekelas yang hanya terdiri atas satu tingkatan (Rogers, 2002).

Sedangkan manfaat atau dampak PRK yang bersifat non-kognitif berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO/APEID di 12 negara di kawasan Asia Pasifik sebagaimana yang dikutip oleh Angela Little adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan (a) kebiasaan bekerja secara independen dan (b) keterampilan belajar sendiri.
b. Kerjasama kelompok di antara para siswa yang berbeda usia dan tingkatan mempunyai kecenderungan berkembangnya etika, kepedulian dan tanggungjawab kelompok.
c. Peserta didik mengembangkan sikap positif tentang saling membantu satu sama lain.
d. Kegiatan-kegiatan belajar remedial dan pengayaan dapat ditata menjadi lebih produktif dibandingkan di kelas-kelas normal yang biasa (Little, 1995).

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada sekolah-sekolah yang menerapkan PRK, dikemukakan oleh para guru yang menjadi responden bahwa dibutuhkan beberapa sikap dan kualitas yang penting dimilki oleh para guru yang akan berperanserta dalam pelaksanaan PRK, yaitu:
a. mempunyai dedikasi yang sangat tinggi, dan bersedia bekerja keras di luar jam-jam pelajaran sekolah;
b. mempunyai kepedulian yang tinggi demi kesejahteraan para siswanya;
c. mempunyai kesediaan untuk memberikan lebih banyak pilihan dan keleluasaan kepada para siswanya; dan
d. mempunyai kesediaan untuk melakukan eksperimen, mencoba berbagai gagasan baru, dan berani menghadapi berbagai resiko (Mulcahy, 1992).

Ada 4 bidang kritis tentang perubahan yang harus difokuskan agar upaya pengembangan sekolah-sekolah dasar yang menerapkan PRK dapat berhasil, yaitu:
a. guru perlu mengembangkan seperangkat bekal teknik-teknik mengajar dan praktek-praktek pengelolaan kelas;
b. guru membutuhkan berbagai masukan, baik yang bersifat materi maupun fisik, di antaranya yang sangat penting adalah bahan-bahan belajar terprogram (programmed learning materials) dan buku-buku teks (textbooks).
c. guru membutuhkan jaringan dukungan professional, baik yang bersifat lokal maupun yang lingkupnya lebih luas;
d. adanya kebijakan nasional yang berkaitan dengan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan misalnya: pelatihan para guru dan administrator, pengadaan guru dan pengembangannya, dan pengembangan bahan belajar yang di rancang dan di kembangkanuntuk pembelajaran ragam kelas/tingkatan.

Beberapa kesulitan/masalah yang dihadapi oleh sekolah-sekolah yang menerapkan PRK sebagaimana yang dikemukakan oleh Angela Little, antara lain adalah:
a. tidak adanya pelatihan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan/membekali para guru yang ditugaskan mengajar di sekolah-sekolah dasar yang menerapkan “pembelajaran pada kelas ragam kelas/tingkatan”. Dengan tidak adanya pelatihan pembekalan ini, maka para guru hanya mengandalkan pengalaman sebelumnya yang telah dimiliki untuk mengelola kegiatan pembelajaran di samping tentunya inisiatif atau prakarsa yang dikembangkan oleh para guru itu sendiri.
b. adanya sementara persepsi yang kurang pas mengenai sekolah-sekolah dasar yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Persepsi yang kurang pas itu adalah bahwa “Sekolah Satu Guru” atau “Sekolah Dua Guru” yang berlokasi di daerah-daerah pedesaan dan yang terpencil sebagai sekolah-sekolah yang berprestise sangat rendah sehingga kebanyakan para guru yang ditempatkan adalah mereka yang berkualifikasi rendah atau yang tidak mempunyai kualifikasi mengajar.
c. keterbatasan berbagai sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran, terutama yang berupa buku-buku teks, bahan-bahan belajar lainnya, dan alat bantu mengajar. Kondisi guru yang kebanyakan berkualifikasi rendah, jumlah guru dan sumber belajar yang terbatas akan menjadi masalah yang serius bagi guru untuk membelajarkan para siswa (Little, 1995).

Berkaitan dengan keterbatasan sumber-sumber belajar, Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) telah mengembangkan bahan-bahan belajar yang dapat digunakan untuk Sekolah PRK. Bahan-bahan belajar ini berupa program audio interaktif yang pengembangannya didasarkan pada kurikulum SD yang berlaku dan mencakup mata pelajaran bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Sejauh ini, perintisan pemanfaatan program audio interaktif telah dilakukan di 10 SD yang tersebar di 10 propinsi. Tujuannya adalah untuk membantu para guru membelajarkan para siswanya.
Pada umumnya, model SD dengan 1 orang guru atau antara 1 sampai dengan 3 orang guru, banyak ditemukan di daerah-daerah pedesaan (rural areas), baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Ada beberapa alasan untuk menyelenggarakan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya: keterbatasan jumlah anak-anak usia sekolah, keterbatasan jumlah guru yang ada, keterbatasan ruang kelas yang ada di sekolah, dan keadaan geografis yang sulit untuk mobilisasi penduduk. Beberapa di antara negara yang menerapkan “pembelajaran ragam kelas/tingkatan” adalah: Amerika Serikat, Australia, Cina, Finlandia, Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman, Kanada, Nepal, Peru, Sri Lanka, Spanyol, Thailand, Turki, Vietnam, dan Yunani. Berkaitan dengan pembelajaran ragam kelas/tingkatan ini, ada beberapa istilah yang digunakan, misalnya: pembelajaran ragam usia (multiage teaching), kelas ragam usia (multiage classrooms), sekolah dasar kecil (small primary schools), dan kelas beda tingkatan (split-grade classrooms).
Pembelajaran ragam kelas/tingkatan diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru kepada sekelompok siswa yang terdiri atas beberapa kelas/tingkatan atau usia dalam waktu yang bersamaan. Di daerah-daerah pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang, pada umumnya seorang guru diberi tugas atau tanggungjawab untuk membina 2 atau lebih kelompok siswa yang berbeda kelas/tingkatan. Ada beberapa model penerapan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya: (a) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (b) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (c) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, dan (d) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.

Beberapa dasar pemikiran yang melatarbelakangi penyelenggaraan Sekolah Dasar dengan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di satu daerah/wilayah yaitu, antara lain dikarenakan sedikit atau terbatasnya: (a) jumlah siswa yang ada dan (b) jumlah guru yang terdapat di satu wilayah. Faktor lainnya adalah dikarenakan kondisi kesulitan geografis yang ada di satu daerah/wilayah sehingga membatasi mobilitas penduduk. Untuk dapat berhasil dalam mengelola Sekolah Dasar yang menerapkan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, para guru hendaknya: (a) mempunyai dedikasi yang sangat tinggi dan bersedia bekerja keras setelah jam pelajaran sekolah berakhir, (b) mempunyai kepedulian yang tinggi demi kesejahteraan para siswanya, (c) memberikan lebih banyak pilihan dan keleluasaan kepada para siswanya dalam kegiatan belajar, dan (d) bersedia melakukan eksperimen, mencoba berbagai gagasan baru, dan berani menghadapi berbagai resiko.
Mengingat beban tugas dan tanggungjawab yang besar yang diemban oleh para guru yang mengajar di SD yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, maka dinilai sangat penting dan strategis untuk (a) membekali para guru yang akan ditugaskan mengajar di SD model pembelajaran ragam kelas/tingkatan melalui pelatihan, (b) melengkapi SD yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan dengan berbagai sumber belajar yang dapat dipelajari siswa secara mandiri, dan (c) memberikan insentif kepada para guru yang bertugas mengajar di SD yang menerapkan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya saja berupa: tambahan honorarium dan percepatan kenaikan pangkat.

Senin, 18 Oktober 2010

kartun sebagai media yang mengasikkan

Menyimak pidato kenegaraan Presiden SBY di MPR yang baru lalu, di hadapan anggota DPD, pada tahun 2010 internet dan tayangan televisi akan bisa dinikmati oleh masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia, saya jadi terpana. Ada rasa bangga, namun kegundahan akan dampak negatif dari media tersebut jauh lebih besar. Internet, mungkin masih terbatas pada mereka yang faham teknologi ini. Tetapi televisi, tidak dibutuhkan pengetahuan tambahan untuk menyimaknya, cukup punya mata yang berfungsi plus pendengaran. Masalah piranti (pesawat televisinya) mudah saja, andai belum atau tidak punya sendiri, bisa numpang di rumah tetangga karena komunitas desa sangat kekeluargaan dan masih solid dengan system kekerabatannya.

Bila anda berhasrat menjadi selebriti/artis sinetron, dewasa ini kira-kira syaratnya lebih mudah, namun perlu kemurahan dari Allah SWT karena menyangkut performance bawaan “janin”. Syarat pertama, anda yang wanita, harus cantik, berkulit mulus, berbody seksi, mau berdandan sesuai dengan tuntutan skenario. Untuk anda yang pria, harus ganteng, gagah, berbody macho dan bersedia berlagak sesuai tuntutan skenario. Kedua, anda bisa bicara dengan nada lantang, sanggup membentak-bentak, bisa bereksperisi bengis-jahat-licik, pria jadi wanita, wanita berlagak pria, (ekspresi sedih/tangis-menangis dan mata merah/sembab, bisa direkayasa dengan obat tetes mata, atau gas dari aroma kulit bawang merah!). Ketiga, jangan sekali-kali anda menolak keinginan sutradara dan produser sekalipun alur cerita atau penokohan anda secara psikologis tidak berwatak atau bertentangan dengan norma-norma. Keempat, anda bersedia mengikuti irama “kejar-tayang” pihak produser. Kelima, campakkan idealisme anda, gantikan dengan selera iklan dan warna-warni pemirsa yang menggemari ceritanya. Syarat keenam, sanggup menerima kritik, tudingan negatif dari para intelektual, psikolog dan pendidik yang peduli pada generasi muda. Ketujuh, -untuk pendatang baru dan yang belum beken- tanda-tangani saja kontrak dengan persyaratan yang diajukan produser walaupun honornya rendah.

Menjelang bulan Suci Ramadhan, selama satu bulan penuh ada kemungkinan tayangan televisi dipenuhi dengan thema-thema religi, termasuk iklan yang mengundang sensasi akan dikurangi. Padahal dalam setahun selama sebelas bulan, pemirsa banyak disuguhi tampilan yang serba glamour serta menjurus pada hal-hal berdampak negatif bagi perkembangan psikologi anak-anak dan ABG. Dan masyarakat pedesaan pada umumnya menikmati siaran televisi bagaikan sebuah media pembelajaran. Sementara Komisi Penyiaran Indonesia dan institusi pengawasan siaran televisi dan film independen seakan tidak mampu berfungsi sebagai pengendali. Walaupun label “siaran dewasa”, “bimbingan orang tua” atau apa saja istilahnya, tercantum dalam acara-acara tertentu.

Kampanye nasional untuk menyelamatkan anak-anak dari cengkeraman televisi adalah “Hari Tanpa Televisi” diadakan sejak 2006, tahun ini dilaksanakan pada hari Minggu, 26 Juli 2009 yang lalu. Gerakan ini seolah mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi sajian stasiun televisi. Seandainya, komitmen ini diikuti fungsi-fungsi pengawasan dari institusi bentukan pemerintah, yang tegas, tidak pandang bulu, tak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada stasiun yang ternyata menyajikan tayangan tidak berkualitas, niscaya kampanye bisa efektif serta menuai hasil maksimal. Lihatlah, seberapa besar prosentase siaran dan acara dari berbagai stasiun televisi yang berbobot membangun SDM masa depan? Jangan pertanyakan tentang komitmen orang tua menyiasati kebutuhan primer anak akan televisi, karena masyarakat pedesaan umumnya terlalu awam, kecuali bagi pedesaan di pulau Jawa dan Bali, mungkin sedikit beda.

Kebutuhan terhadap internet dan televisi konsekuensi logis dari perkembangan informasi global. Bahkan, suatu saat nanti masyarakat sangat bergantung pada teknologi ini sepadan dengan ketergantungan terhadap listrik. Oleh karena itu, sangat logis jika dalam dekade terakhir perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional juga ikut meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas teknologinya. Bahkan, di era otonomi daerah, juga semakin marak bermunculan televisi lokal dengan tayangan khas bernuansa kedaerahan.

Kuantitas sajian membingungkan pemirsa saking beraneka dan banyaknya acara, teknologi pembuatannya kian canggih sehingga mampu menghipnotis pemirsa awam, utamanya masyarakat pedesaan. Kita semua bangga dengan itu, walaupun sebagian program berupa adopsi dari televisi luar negeri. Kendati demikian, para intelektual, psikolog, pendidik dan pemerhati generasi penerus bangsa ini sangat memprihatinkan kualitas tayangannya dan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan jiwa dan moral anak-anak dan remaja. Pesan-pesan edukatif yang disajikan terbungkus sangat tebal sulit dicernakan, sebaliknya perilaku bengis dan keji justru tertampil seakan suri tauladan yang faktual serta layak diaktulisasikan dalam keseharian. Utamanya sajian televisi swasta nasional yang lebih banyak memburu kualitas tayangan program yang kurang mendidik dan cenderung tidak rasional.

apa yang tidak diajarkan di universitas

APA YANG TIDAK DIAJARKAN DI UNIVERSITAS:
Teknik yang Menarik, Lucu dan Praktis untuk Mengajar Bahasa dan Kepekaan Budaya yang Tinggi

M. Bundhowi

Pengembangan teknik untuk mengajarkan kepekaan budaya mulai mendapat perhatian di tengah maraknya pengembangan teknik pengajaran keterampilan berbahasa murid. Pengajar BIPA, baik penutur asli maupun bukan asli, sering terperangah ketika menghadapi situasi di mana perbenturan budaya dalam khasanah pembelajaran BIPA menjadi hal yang sangat fundamental.

Workshop (lokakarya) ini akan membawa peserta untuk memngeksplorasi teknik dan pengajaran khasanah lintas budaya (Indonesia dan non-Indonesia sebagai latar belakang budaya siswa). Presentasi yang serupa telah diujicobakan ke guru-guru bahasa Indonesia di beberapa sekolah di NSW, Australia yang diorganisir oleh Departemen Pendidikan dan Training NSW.

Pendahuluan
Nampaknya ketertarikan kepada pembahasan masalah silang budaya dalam pengembangan BIPA memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Hal ini tampak pada membesarnya jumlah abstrak, makalah dan diskusi tentang budaya pada konperensi BIPA akhir-akhir ini. Fenomena ini menunjukkan bagaimana semua yang berkutat di bidang pengembangan BIPA semakin sadar bahwa budaya sebagai hal yang tidak terpisah dari bahasa.

Memang ketertarikan dalam pengembangan pengajaran budaya dalam kaitannya dengan pengembangan BIPA cukup menggembirakan, namun harus disadari bahwa masih banyak pekerjaan yang masih harus dikembangkan supaya pengajaran kebudayaan ini tidak ketinggalan dari perkembangan bahasa Indonesianya.

Batu pijakan dalam lokakarya tentang teknik pengajaran yang menarik, lucu dan praktis untuk mengajar Bahasa dan kepekaan budaya yang tinggi merupakan proses akumulasi empiris yang penulis peroleh dari pengalaman mengajar:

a) Pengungsi Vietnam, Kamboja, Hmong di Kamp Pengungsi Indochina, Galang (1987 –1993) yang berlatar belakang linguistik bahasa – bahasa Asia. Teknik pengajaran kesadaran lintas budaya yang dikembangkan disempurnakan dengan teknik-teknik penyampaian menggunakan bahasa target – Inggris yang disampaikan menggunakan komik strip. Para pengungsi ini akan menuju dan tinggal di negara ke tiga, Amerika, Kanada, Australia, Inggris dan negara-negara Eropa barat termasuk Jerman, Prancis dsb. Yang berlatar belakang budaya yang jauh berbeda dari budaya mereka sendiri.

b) Siswa BIPA dari mancanegara yang belajar di Indonesia Australia Language Foundation (1993 – sekarang). Teknik pengajaran kesadaran lintas budaya yang dikembangkan disempurnakan dengan teknik-teknik penyampaian menggunakan bahasa target – Indonesia. disampaikan menggunakan komik strip, kuliah budaya serta immerse dalam budaya. Siswa tinggal di keluarga Indonesia (Bali).

c) Mengajar siswa SD sampai SLTP di Evans Head, Mullumbimby, Ballina, Evans Head, Broad Water di NSW, Australia (2000). Penggunaan kartun dan komik strip sangat membantu dalam pengajaran bahasa dan kepekaan budaya terutama bagi siswa usia muda karena dalam tahap ini siswa sangat tanggap terhadap stimulus visual yang lucu, menarik dan praktis.

d) Lokakarya penggunaan komik strip dan kartun bagi guru-guru bahasa Indonesia di Dubbo, Mullumbimby, Byron Bay dan Sydney.

Kesimpangsiuran pengajaran kesadaran budaya

Ada semacam kesalahpahaman yang harus dipaparkan, terutama yang berkaitan dengan pengajaran unsur-unsur kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan hal berproses dan berkembang dalam waktu yang lama (selama manusia hidup) maka ada rasa apatis dari banyak pihak, termasuk pengajar yang berpendirian bahwa kebudayaan tidak bisa diajarkan. Tarik ulur bisa tidaknya budaya (dalam hal ini Indonesia) diajarkan kepada siswa BIPA sering muncul dalam lokakarya yang banyak dihadiri oleh pengajar bahasa Indonesia di negara selain Indonesia, yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan kebahasaan dengan teori barat. Hal tersebut ada benarnya dan itu merupakan pendapat yang bisa dimengerti. Dalam hal ini harus dimengerti bahwa upaya pengajaran unsur kebudayaan dalam bahasa (dalam hal ini BIPA) bukan merupakan usaha untuk mengajarkan budaya, karena sebetulnya sasaran pengajaran unsur kebudayaan adalah untuk menanamkan kepekaan atau kesadaran lintas budaya.

Kamis, 14 Oktober 2010

tersenyum lewat kartu terbaik karya anak negeri

KARTUN hadir sebagai sebuah gambar yang berdiri sendiri dan menjadi seni yang universal.Kehadiran kartun,mendatangkan senyum dan tawa tanpa dibatasi bahasa dan budaya bagi orang yang melihatnya.

Senyum tersebut tampak jelas di bibir salah seorang pengunjung, Rayney Wong,ketika menyaksikan karya-karya kartunis Indonesia yang dipamerkan di Pacific Place Mall. Pria berkebangsaan Singapura ini sibuk mengabadikan hasil karya kartunis tersebut sambil sesekali tersenyum melihat karya para kartunis yang unik.

Setiap karya menyimpan makna tersendiri, dan masing-masing orang menafsirkan pesan yang coba diangkat oleh si kartunis dalam bahasanya sendiri. Rayney pun mencoba menginterpretasikan gambar-gambar itu sesuai yang dinilainya. Contohnya ketika melihat karya Jitet Koestana dengan judul Money Case.

Menurutnya, gambar itu memiliki makna bahwa setiap individu akan melakukan apa pun demi mendapatkan uang. Atau kartun dengan gambar tentara yang sedang sibuk berperang, sementara seorang wartawan TV pun tak lepas dari kameranya.

”Gambar ini mewakilkan situasi di mana ada dua kepentingan, yakni tentara yang ingin berperang dan wartawan yang ingin mencari kebenaran,” kata Rayney yang berprofesi sebagai process improvement consultantdi sebuah perusahaan di Singapura ini. Bagi Rayney, tidak sulit memahami bahasa kartun karena dengan tampilan gambar yang memikat orang sudah dapat mengerti maksud si kartunis.

Hal inilah yang membuat kartun semakin menarik dan bersifat universal di dunia. Secara keseluruhan, Rayney melihat, pameran hasil karya terbaik kartunis tersebut dinilai cukup menarik. Ia mengatakan, apa pun yang terjadi selalu ada sisi humor dari kejadian itu,dan hal ini diterjemahkan dengan baik oleh kartunis yang turut andil dalam pameran tersebut. Sejatinya,kartun adalah bidang yang akrab dengan media.

Kartun muncul sebagai gambar yang mendampingi teks, dan kerap mencuri perhatian serta membuat yang menyaksikan tersenyum, bahkan tertawa dengan pikiran tergelitik. Dalam era globalisasi yang mengaburkan batas-batas komunikasi ini, karya-karya kartunis Indonesia telah memiliki tempatnya di berbagai festival internasional.

Nah, karya-karya terbaik inilah yang dipamerkan dalam kesempatan eventkesenian yang hadir di lantai satu mal yang berada di bilangan Sudirman Center Business District (SCBD).Pameran yang berlangsung mulai tanggal 4-30 Agustus 2009 ini, terselenggara berkat kerja sama Joker Syndicate dengan salah satu majalah di Jakarta.

kartun terbaik sebagai bahan pendidikan

Kartun sekarang dapat sebagai bahan media ajar pada anak dalam dunia pendidikan.
Contohnya pada gambar percakapan dibawah ini, anak cnderung ingin tahu tentang dunia pendidikan apabila media atau bahan ajarnya menarik. anak akan mencari tahu tentang dunia pendidikan melalui gambar kartun yang dilihatnya.
apalagi sekarang banyak kartun yang menjurus kepada bidang pendidikan.
sehingga anak ingin tahu lagi kelanjutan dari cerita kartun tersebut.

Add caption